Beranda | Artikel
Pengaruh Sihir, Nyata Atau Tidak?
Rabu, 24 Februari 2021

PENGARUH SIHIR, NYATA ATAU TIDAK?

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al Atsari

Adalah fakta, jika sihir memiliki pengaruh, seperti dapat membunuh orang yang terkena sihir, dapat membuat seseorang jatuh sakit, sihir dapat memisahkan antara suami dan isteri, juga bisa menimbulkan perseteruan antara dua orang yang bersahabat dan berkasih-sayang. Demikian ini termasuk salah satu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Yaitu meyakini bahwa pengaruh sihir benar-benar nyata dan ada.

Para ulama berbeda pendapat tentang hakikat sihir dan jenis-jenisnya, tetapi mayoritas ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah berpendapat, sihir dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kematian orang yang disihir, atau membuatnya jatuh sakit, tanpa terlihat tanda-tanda lahiriyah yang menyebabkannya. Sebagian lainnya -yakni dari kalangan ahli filsafat dan kelompok Mu’tazilah- mereka mengklaim jika sihir hanyalah khayal (ilusi) belaka.[1]

Pengingkaran terhadap pengaruh sihir ini merupakan keyakinan ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah. Keyakinan tersebut bertentangan dengan al Qur`an, Sunnah, Ijma’ dan akal sehat.

Ketika menjelaskan ushul i’tiqad (pokok-pokok keyakinan) Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Abul Hasan al Asy’ari rahimahullah mengatakan: “Kami meyakini, sihir dan tukang sihir benar-benar ada di dunia ini. Dan kekuatan sihir merupakan kenyataan”.[2]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan:
“Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ

Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,[al Falaq/113:4]

Menunjukkan bahwa, pengaruh sihir itu benar-benar nyata. Beberapa kelompok ahlu kalam (filosof dan kalangan Mu’tazilah) mengingkari adanya pengaruh sihir ini. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tidak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan dan pengaruh-pengaruh lain. Semua itu hanyalah imajinasi orang-orang yang melihatnya, dan bukan sesuatu yang sebenarnya”.[3]

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali menjelaskan, ayat dan hadits di atas menegaskan bahwa sihir itu memang ada. Hakikat sihir itu benar-benar nyata, sama seperti perkara-perkara lainnya.

Penjelasannya:

  • Pertama. Dalam surat al Baqarah ayat 102, Allah menyebutkan ilmu sihir dipelajari manusia. Sihir dapat menimbulkan mudharat. Di antaranya dapat memisahkan antara sepasang suami isteri. Lalu apakah kedua hal tersebut hanya sebuah ilusi dan tipuan belaka, ataukah hakiki? Jawabannya, hal itu benar-benar hakiki.
  • Kedua. Allah, Dia-lah Pencipta segala sesuatu, telah memerintahkan kita agar berlindung kepadaNya dari kejahatan tukang sihir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ

Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul –QS al Falaq/113 ayat 4.

Ayat ini merupakan bukti, jika sihir itu benar-benar nyata. Pengaruhnya sangat jahat dan dapat menyakiti manusia dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Al Maziri berkata: “Mayoritas Ahlu Sunnah dan jumhur ulama menegaskan, sihir memang benar nyata. Sihir memiliki hakikat, sebagaimana perkara-perkara lainnya. Berbeda dengan orang-orang yang mengingkari hakikatnya dan menganggapnya sebagai halusinasi batil yang tidak riil. Allah telah menyebutkan sihir di dalam al Qur`an, dan menggolongkannya sebagai ilmu yang dipelajari. Allah juga menyebutkan, sihir merupakan perkara yang membuat kafir dan pengaruhnya dapat memisahkan suami isteri. Semua itu tidaklah mungkin bila tidak nyata. Hadits dalam bab ini juga menegaskan bahwa, sihir itu memang benar ada. Ilmu sihir termasuk ilmu yang terkubur, dan kemudian muncul kembali. Semua itu menyanggah perkataan orang-orang yang mengingkarinya. Dan menganggapnya tidak nyata, adalah suatu perkara yang mustahil”.[4]

Al Khaththabi berkata: “Sejumlah pakar ilmu pengetahuan alam mengingkari adanya sihir dan menolak hakikatnya. Sementara itu, sejumlah ahli kalam (filosof) menolak hadits ini. Mereka berkata, sekiranya sihir dapat mempengaruhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sihir dikhawatirkan juga mempengaruhi wahyu, syariat yang diturunkan kepada beliau. Itu artinya penyesatan umat!”

Bantahannya : Sihir memang benar ada dan hakikatnya juga ada. Sejumlah bangsa, seperti bangsa Arab, Persia, India dan bangsa-bangsa Romawi menegaskan adanya sihir. Mereka merupakan penduduk bumi yang terutama, yang paling banyak memiliki ilmu dan hikmat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ

… Mereka mengajarkan sihir kepada manusia… [al Baqarah/2:102].

Allah juga memerintahkan kita agar berlindung kepadaNya dari pengaruh sihir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ

Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, [al Falaq/113:4].

Telah dinukil secara shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa hadits[5]. Orang-orang yang mengingkarinya, sama artinya mengingkari sesuatu yang terlihat nyata dan pasti adanya. Para ahli fiqh juga telah menyebutkan beberapa hukuman terhadap tukang sihir. Sesuatu yang tidak hakiki atau tidak riil tentu tidak mencari kepopuleran dan kemasyhuran seperti ini. Menafikan adanya sihir merupakan kejahilan. Membantah orang yang menafikannya merupakan perbuatan sia-sia dan tak ada gunanya.[6]

Ibnul Qayyim al Jauziyah berkata dalam kitab Badaa-i’ul Fawaa-id (II/227-228) : “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ

Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, [al Falaq/113:4].

Dan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anha di atas menetapkan adanya pengaruh dan hakikat sihir. Sebagian ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan lainnya ada yang mengingkarinya. Mereka mengatakan, sebenarnya pengaruh sihir itu tidak ada. Baik berupa penyakit, pembunuhan, kerasukan, keterpikatan atau pengaruh-pengaruh lain. Menurut mereka, semua itu hanyalah halusinasi orang-orang yang melihatnya, dan bukan sesuatu yang nyata”.

Perkataan mereka ini jelas menyelisihi riwayat-riwayat yang mutawatir dari para sahabat dan para salaf, serta kesepakatan para fuqaha, ahli tafsir, ahli hadits dan para pemerhati masalah hati dari kalangan ahli tasawwuf, serta seluruh orang-orang yang berakal sehat. Pengaruh sihir itu bisa berupa sakit, perasaan berat, kerasukan, pembunuhan, perasaan cinta, perasaan benci, dan pengaruh-pengaruh lain yang terjadi pada diri manusia. Semua itu benar-benar ada dan diketahui oleh kebanyakan manusia. Kebanyakan mereka benar-benar dapat merasakan sihir itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ

Dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, [al Falaq/113 : 4].

Ayat di atas merupakan dalil bahwa, an nafats (hembusan sihir) dapat mendatangkan kejelekan bagi orang yang disihir dari arah yang tidak ia ketahui. Seandainya kejahatan itu hanya bisa terjadi dengan kontak badan secara lahir -sebagaimana dikatakan oleh kelompok yang mengingkari- niscaya kita tidak perlu berlindung dari kejahatan sihir dan wanita-wanita tukang sihir itu. Dan kenyataanya, para tukang sihir itu mampu mengelabui pandangan orang-orang yang menyaksikan sihirnya, padahal jumlah mereka begitu banyak, hingga mereka menyaksikan sesuatu yang bukan sebenarnya. Dan seketika itu juga, imajinasi yang melihat menjadi berubah.

Jadi, apa gerangan yang bisa merubah perangai, perkataan dan tabiat mereka? Apa bedanya antara perubahan yang nyata itu dengan perubahan sifat-sifat rohani dan jasmani lainnya? Jika ia merubah imajinasinya, sehingga melihat orang yang diam menjadi bergerak, sesuatu yang bersambung menjadi terputus, orang yang mati menjadi hidup, maka, apakah yang menyebabkannya berubah, sehingga orang yang dicintai menjadi dibenci? Dan sebaliknya orang yang dibenci menjadi dicintai dan pengaruh-pengaruh lainnya? Allah Subhanahu wa Ta’ala bercerita tentang tukang sihir Fir’aun:

قَالَ اَلْقُوْاۚ فَلَمَّآ اَلْقَوْا سَحَرُوْٓا اَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوْهُمْ وَجَاۤءُوْ بِسِحْرٍ عَظِيْمٍ

Mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). [al A’raf/7 : 116].

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menjelaskan pandangan mereka telah tersihir. Hal itu terjadi –mungkin- dengan merubah keadaan sesuatu yang mereka lihat, yakni tali-tali dan tongkat. Misalnya tukang-tukang sihir itu meminta bantuan kepada ruh jahat atau setan untuk menggerakkannya. Hingga orang-orang yang menyaksikan menyangka tali dan tongkat itu bergerak dengan sendirinya. Demikian juga misalnya, makhluk yang tak terlihat pandangan mata itu menyeret tikar atau permadani. Sehingga, tikar dan permadani itu akan tampak bergerak dengan sendirinya, tanpa ada yang menggerakan. Padahal setanlah yang menggerakkannya. Itulah yang sebenarnya terjadi. Setan-setan telah merubah tali dan tongkat itu menjadi seperti ular. Orang yang menyaksikan mengira, benda itu berubah dengan sendirinya. Padahal sebenarnya setanlah yang merubahnya. Bisa juga hal ini terjadi, karena sihir telah merubah keadaan orang-orang yang menyaksikan itu, hingga mereka menyaksikan tali dan tongkat itu seolah bergerak. Padahal, sebenarnya tidak. Maka tidak diragukan lagi, tukang-tukang sihir itu benar-benar melakukan hal tersebut.

Adakalanya juga dengan mempengaruhi imajinasi orang-orang yang melihatnya, sehingga mereka menyaksikan sesuatu yang bukan sebenarnya. Misalnya dengan merubah benda-benda yang dilihat dengan bantuan ruh-ruh jahat atau setan.

Adapun ucapan orang-orang yang mengingkari adanya pengaruh sihir, yang mengatakan bahwa para penyihir itu membuat tali-tali dan tongkat itu bisa bergerak sebagaimana air raksa yang bisa bergerak sendiri, jelas merupakan perkataan batil ditinjau dari berbagai aspek. Sekiranya demikian, tentu gerakan itu bukan bersifat imajinatif, tetapi gerakan riil. Juga bukan merupakan sihir yang mengecoh pandangan manusia. Namun lebih tepat disebut hasil teknologi.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَ بَلْ اَلْقُوْاۚ فَاِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ اِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ اَنَّهَا تَسْعٰى

Musa berkata,”Silakan kamu sekalian melemparkan,” maka tiba-tiba, tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka.[Thaha/20:66].

Sekiranya gerakan itu merupakan tipuan sebagaimana yang disebutkan oleh orang-orang yang mengingkari, tentu gerakan itu bukan termasuk sihir. Dan juga, sekiranya hal itu sebuah tipuan -seperti kata mereka- tentu cara menangkalnya ialah dengan mengeluarkan air raksa yang ada di dalamnya, dan menjelaskan hakikat tipuan tersebut. Sehingga sudah tentu tidak perlu melemparkan tongkat untuk menelannya. Tipuan seperti ini tentu tidak perlu menangkalnya dengan bantuan para tukang sihir, tetapi cukup dengan bantuan para ahli teknologi. Dan tentunya, Fir’aun tidak perlu mengagungkan para penyihir itu dan tunduk kepada mereka. Fir’aun menjanjikan kedudukan yang tinggi dan balasan yang besar bagi mereka. Tentunya tidak akan dikatakan: “Sesungguhnya ia merupakan pemimpin kalian yang mengajarkan sihir kepada kalian”. Sebab, teknologi juga dikuasai oleh orang lain dalam mempelajari dan mengajarkannya. Kesimpulannya, perkataan para pengingkar adanya sihir itu, sangat jelas kebatilannya, tidak susah membantahnya”.

Oleh karena itu, sangat batil anggapan sebagian orang yang mengatakan “pelajarilah sihir, namun jangan diamalkan,” atau “pelajarilah sihir untuk menolak sihir,” dan perkataan lainnya yang bisa menjadi penyesalan pada hari Kiamat, bagi yang mengucapkannya.[7]

Tetapi anehnya, ahli filsafat era modern ini justru sangat percaya kepada sihir dan pengaruhnya. Bahkan, mereka tidak segan-segan mempelajari dan menerapkannya.

Syaikh Akram Dhiya’ al Umari menjelaskan, “Collin Wilson mengungkapkan, ‘Sesungguhnya Inggris dan Amerika sekarang merangkul sejumlah tukang sihir. Jumlah mereka melebihi tukang sihir yang ada sejak zaman renaissance dahulu’.”

Demikianlah, ilmu pengetahuan dan peradaban modern tidak mampu membebaskan akal manusia dari belitan khurafat dan mitos. Adapun Islam, telah memutus jalan bagi para tukang sihir dan paranormal, sejak empat belas abad yang lalu.[8]

Sudah dimaklumi bersama adanya hubungan erat antara dukun dan tukang sihir dengan ahli filsafat kuno, kaum mentalis dan penyembah bintang-bintang. Sebab, antara keduanya terdapat hubungan dan nasab. Golongan yang akhir merupakan generasi penerus bagi golongan yang pertama.

Asy Syahristani menjelaskan, mereka dapat melakukan trik-trik menakjubkan yang mereka peroleh melalui pengaruh bintang-bintang yang bisa mendatangkan perkara-perkara secara menakjubkan. Ilmu sihir yang tercantum dalam buku-buku sihir, perdukunan, ilmu nujum, jampi-jampi, bacaan-bacaan, gambar-gambar, semua itu merupakan bagian dari ilmu mereka.[9]

Oleh karena itu, pengaruh sihir ini tidak dapat diingkari, baik berdasarkan syariat maupun logika. Konsekwensi dari keyakinan tentang pengaruh nyata dari sihir ini ialah, menetapkan bahwa sihir merupakan tindak kejahatan dan kriminal. Dan para ulama menjatuhkan sanksi hukum yang berat kepada tukang sihir, yaitu hukuman mati.

Syariat telah menjelaskan keharamannya dan bertindak tegas atas pelakunya, dan menjadikannya sebagai perbuatan yang setara dengan syirik. Sebab setan tidak akan membantu tukang sihir, hingga mereka kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebagai contoh, telah dinukil dari sejumlah tukang sihir, yaitu beberapa perbuatan keji dan kufur. Salah seorang dari mereka meletakkan lembaran mushaf al Qur`an di bawah tikar, agar dapat ia pijak dengan kakinya. Dan ada pula yang menggunakannya sebagai tissu untuk istinja`, wal iyadzu billah.

Sehingga, barangsiapa didapati melakukan praktek sihir, maka hukumnya kafir. Adapun sebagai hukumannya, maka orang tersebut dibunuh, sebagaimana telah dilakukan oleh Jundab bin Abdillah Radhiiyallahu anhu, dan begitu juga yang diperintahkan Umar bin al Khaththab Radhiyallahu anhu, serta telah dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Demikian pula telah dinukil secara shahih dari Hafshah binti Umar Ummul Mukminin Radhiyallahu anha, bahwa ia telah membunuh seorang perempuan tukang sihir dan mengaku telah melakukan sihir kepadanya. Dan ini merupakan kesepakatan para sahabat Radhiyallahu anhum. Hal ini bertolak dari pengaruh langsung dan nyata dari praktek sihir tersebut. Kalaulah sihir hanya merupakan ilusi orang-orang yang melihatnya, atau tidak ada pengaruh terhadap yang disihir, tentu hukumannya tidak seperti itu.

Wallahu a’lam.

Maraji` :

  1. Tafsir Surat al Falaq dan surat an Naas, Muhammad bin Abdul Wahhab.
  2. Mausu’ah Manaahi asy Syar’iyyah, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali.
  3. Sirah Nawabiyah Shahihah, Akram Dhiyaa` al Umari.
  4. Al Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, Abul Hasan al Asy’ari.
  5. Syarah Aqidatuth Thahaawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi.
  6. Al Milal wan Nihal, asy Syahristaani.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Silakan lihat Syarah Aqidatuth Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi, hlm. 505.
[2] Al Ibanah ‘an Ushulid Diyaanah, , Abul Hasan al Asy’ari, hal. 54.
[3] Tafsir Surat al Falaq dan Surat an Naas, Muhammad bin Abdul Wahhab, hlm. 3-4.
[4] Dinukil oleh Imam an Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, IV/174, dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, X/222-223. Dan keduanya membenarkan ucapan tersebut.
[5] Diantaranya hadits dari Aisyah Radhiyallahu anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُحِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا فَعَلَهُ حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهُوَ عِنْدِي دَعَا اللَّهَ وَدَعَاهُ ثُمَّ قَالَ أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ قُلْتُ وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَاءَنِي رَجُلَانِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ الْيَهُودِيُّ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ قَالَ فِيمَا ذَا قَالَ فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ قَالَ فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي بِئْرِ ذِي أَرْوَانَ قَالَ فَذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَى الْبِئْرِ فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَعَلَيْهَا نَخْلٌ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَأَخْرَجْتَهُ قَالَ لَا أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِيَ اللَّهُ وَشَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا وَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ
Dari Aisyah dia berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disihir hingga seakan-akan beliau mengangan-angan telah berbuat sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, hingga ketika beliau berada di sampingku, beliau berdo’a kepada Allah dan selalu berdo’a, kemudian beliau bersabda: “Wahai Aisyah, apakah kamu telah merasakan bahwa Allah telah memberikan fatwa (menghukumi) dengan apa yang telah aku fatwakan (hukumi)? Jawabku; “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Dua orang laki-laki telah datang kepadaku, lalu salah seorang dari keduanya duduk di atas kepalaku dan satunya lagi di kakiku. Kemudian salah seorang berkata kepada yang satunya; “Menderita sakit apakah laki-laki ini?” temannya menjawab; “Terkena sihir.’ salah seorang darinya bertanya; “Siapakah yang menyihirnya?” temannya menjawab; “Lubid bin Al A’sham seorang Yahudi dari Bani Zuraiq.” Salah satunya bertanya; “Dengan benda apakah dia menyihir?” temannya menjawab; “Dengan rambut yang terjatuh ketika disisir dan seludang mayang kurma.” Salah seorang darinya bertanya; “Di manakah benda itu di letakkan?” temannya menjawab; “Di dalam sumur Dzi Arwan.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi sumur tersebut bersama beberapa orang sahabatnya, beliau pun melihat ke dalam ternyata di dalamnya terdapat pohon kurma, lalu beliau kembali menemui ‘Aisyah bersabda: “Wahai Aisyah! seakan-akan airnya berubah bagaikan rendaman pohon inai atau seakan-akan pohon kurmanya bagaikan kepala syetan.” Aku bertanya; “Wahai Rasulullah, tidakkah anda mengeluarkannya?” beliau menjawab: “Tidak, sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku dan aku hanya tidak suka memberikan kesan buruk kepada orang lain dari peristiwa itu.” Kemudian beliau memerintahkan seseorang membawanya (barang yang dipakai untuk menyihir) lalu menguburnya.”[No. 5324 – Kitab Pengobatan -editor]
[6] Al Baghawi menukilnya dalam kitab Syarah Sunnah, XII/187-188, dan membenarkannya.
[7] Mausu’ah Manaahi Syar’iyyah, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Juz 1, bab larangan sihir, dengan sedikit perubahan.
[8] Sirah an Nawabiyah Shahihah, Akram Dhiyaa’ al ‘Umari, juz kedua.
[9] Al Milal wan Nihal, hlm. 304.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/29300-pengaruh-sihir-nyata-atau-tidak-2.html